Senin, 13 Juli 2015

Rahwana Boleh Pulang

“Rahwana boleh pulang, silahkan.”

Begitu ungkap seorang dokter, di saah satu Rumah Sakit negeri Alengka.

Telah tiga hari, terhitung sejak terguling tergeletak menyerah pada rasa sakit. Kini rahwana bisa melanjutkan perjalananya menuju kesempurnaan sebagai dasamuka. Sebagai seorang yang lahir di negeri tempat bersembunyinya para dewa hingga para maling, rahwana selalu enggan mengikuti kisah yang sudah ditulis beribu tahun lamanya. Rahwana selalu mencoba keluar dari mainstream (begitu kata para pejuang Indra yang bahasanya jauuh-jauh di datangkan dari Negeri lain). Terperanjat si Rahwana ketika melihat dirinya yang kian hari semakin tak jelas rupanya. Dia yakin itu adaah konsekuensi logis dari seorang yogin yang tidak lagi sibuk mengurusi penampilan popular. Ah, Rahwana. Selalu saja tak bikin bangga, hidupnya memang penuh dengan portal dan polisi tidur, tak ada yang berjalan ulus dan sesuai dengan keinginan. Negeri alengka baginya jauh lebih berharga meskipun dewa bersembunyi dan maling bersembunyi pula. Bagaimanapun dia cinta negerinya, yang sekarang dia berharap dia akan menjadi pemimpinnya, pemegang Gadha symbol keperkasaan. Sebagai seorang yang nantinya kalah dalam perang, Rahwana kini boleh bangga, sebab titah dari kedua orang tuanya turun kepadanya. Sebut saja sifat yang mengikutinya. Mawas diri dan sombong. Dua sifat yang saling menjegal satu sama lain. Sayangnya tidak ada pilihan bagi rahwna selain baik dan buruk. Tak mungkin dia berdiri di tengah. Tentu bukan rahwana namanya.

Rumah sakit menjadi titik tolak dia melampaui guru-gurunya, inginnya. Sebab keluar dari kisah tak mungkin. Rahwana-lah yang di Alengka, nantinya akan menjadi sang raja diraja. Berjalan mulusnya, selalu berliku dan menukik tajam, itulah kisah demi kisah dalam hidup sehari-hari rahwana. Soal cinta dia tak pernah gagal, sampai pada ketika Shinta memancarkan aura cantiknya hingga ke alengka, di bawa angin harumnya, produk wewangian khas milik salah satu perusahaan terkenal. Tapi itu nanti, semoga Siwa bersedia mengganti judul ceritanya. Rahwana menukik tajam berkelok-kelok jalan hidupnya, tapi siwa mengabulkan segala inginnya, sebab dia Brahma yang sesungguhnya.

“kau mau apa? Anakku?”
Balasan Siwa, melalui pesan dalam botol.

Bagaimana bisa, Siwa memakai produk ke-bumi-an? Apakah tidak ada cara yang lebih mistis, saat ini di dunia sang pencipta. Dalam benak Rahwana. Coba dia membalas, melalui kurir ekspedisi Alengka, di kemasnya dalam botol dengan alamat tujuan: laut.

Cukup cerdas rahwana, melalui ingatannya semasa dia duduk di bangku sekolah pertapaan dasar di Alengka. Bahwa, air laut menguap dan menjadikannya hujan: proses alami hujan dii jhambudvipa. Menguap bersama botolnya sekaligus pesan yang ditulisnya. Berbunyi:

“aku ingin cintaku tidak lagi kandas”

Berharap tak ada balasan yang tidak menyenangkan, Rahwana tak mau menyalahkan waktu yang membuatnya menunggu.

“Shinta oh Shinta”

Kini, Rahwana tau apa yang harus dia lakukan. Tapi dia mau keluar dari cerita yang digariskan oleh semesta yang tak mendukungnya untuk urusan yang satu ini.  tidak sedang menculiknya dari Rama, Shinta benar-benar sudah membenci Rama. Tidak disebut kesempatan, keberuntungan yang mempertemukan Rahwana pada Shinta, waktu. Jangan salahkan Rahwana, sebab Shinta memiliki be-bau-an khas. Rahwana takluk dan biar Siwa menuliskan kisah barunya, tentang Rahwana, Shinta dan si ‘muka topeng’ Rama.

***

“Baiknya hentikan bunyi kaing yang setiap malam mengangu ritualku menutup hari”

Dengan memandang Siwa, Shinta mengatur nafas, membenarkan posisi tubuh, mengangkat dagu lalu membalikkan badan. Diulanginya lagi berlari sampai terengah-engah menuju ruang yang tak pernah dia buka sebelumnya. Sebesar apapun permintaan yang dia harapkan, tak pernah disampaikan kepada Siwa.

“Aku lebih baik lahir kembali daripada masih harus merasakan gejolak dalam hidupku sebelum mati”
Dia masuk kedalam ruangan dan menutup kembali pintu yang belum pernah dia buka sebelumnya.

Ritual ini. Direndam kakinya kedalam mangkuk besar berisi perasan jeruk limau. Diletakkan tangannya yang tak pernah menyapa matahari, menengadah dibawah pipa mengalir air suci. Diusapkan merata, pada bibir yang tak pernah menjerit, pada mata yang tak sempat saling memandang diri, dan pada kening yang membekas kecupan Rama.

Ditanggalkan badannya diatas kasur.
Suara itu, suara teriakan anjing. Dia membekap wajahnya dengan bantal. Hatinya ketakutan. Shinta, tak ubahnya seorang perempuan malang. Bersembunyi dari balik cahaya negeri Alengka. Setiap harinya meramu malam, menghabiskan segalanya tanpa sisa air mata di pagi hari selanjutnya. Hitam, sesak, dan kelam.

“Kukira sama lengkap seperti engkau kirimkan hujan yang menggedor-gedor kaca jendelaku. Kukira kau tuli, hingga aku buka ruanganku dan berlari menuju singgahsanamu hanya untuk menyampaikan harapanku. Segera sudahi hidupku, segala ritual sudah kulakukan, namun tak membuat tidurku tenang. Kiranya kau tahu Siwa, aku ingin mati bertebaran bunga mawar merah dikasurku. Supaya lebah, kumbang dan kupu-kupu itu siap menerimaku terlahir kembali sebagai Shinta yang lain. Yang tak mengenal suara kaing, tak tahu arah menuju singgahsanamu, dan tak mengingat bahwa kau dengar sebelum bibirku membuka katupnya.”


ditulis oleh laki-laki yang masih baru mengenal cinta, Jember 2014

Selasa, 12 Agustus 2014

Surat untuk 'Kau'

“Sepotong bunga mawar, guratan senja dan pasangan sepertimu. Senang bertemu dengan kalian. Dan tak salah karena kalian aku tersenyum.”

Mungkin sore belum mengizinkanku untuk melihatmu. Atau langit memang kau buat demikian supaya aku menyesali perbuatanku. Kau pasti tahu, hari ini aku membutuhkanmu. Begitu juga sebulan yang lalu, beberapa minggu yang lalu, dan kemarin ketika seseorang mengajakku untuk melihatmu. Hari ini tak sebaik aku menegarkan diri untuk berdiri. Angin terlalu kencang, dan pandangan hanya jelas seratus meter di depan mata. Tumpuanku rapuh, mungkin akan patah sebelum kau muncul di jarak seratus meter di depan mataku.

Pada intinya aku rindu, pada banyak hal yang sulit aku logikakan. Bercerita tentang lingkungan yang kerap membuatku duduk lemas. Lalu kau memberiku canda. Menarik pipiku sampai senyum di bibirku benar-benar nyata. Bercerita tentang kekasih, yang tak pernah kusadari dasar sebuah perasaan. Aku berdiri, tapi lagi-lagi aku duduk lemas. Lalu kau mengusap air mataku. Menyuruhku membendung alirannya.

Dibulan kemarin, aku tak lagi mendengarkanmu. Menampik sekaan tanganmu dipipiku. Aku mengabaikanmu. Aku tak sedang tenang ketika itu. Sarafku terkontaminasi oleh obat tidur dan obat anti mabuk. Membunuh waktu dengan tidur. Bercanda dengan asap. Sama sekali aku tak keluar di sore hari. Aku mengabaikanmu. Sesekali kau memicu supaya aku keluar dan menemuimu, kau muncul dibalik gorden jendela, masuk melalui celah-celah pintu dan menggedor-gedor kaca rumahku. Aku tak peduli, perhatianmu terasingkan oleh perlakuan yang menyakitkan dari seorang kekasih. Emosi tak juga redam oleh jawaban. Yang ada hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang terus memburu. Dan sebuah pertemuan yang tak juga datang.

Hati seperti diiris sembilu. Tak kubayangkan, ketegaran yang kubuat hebat dengan berbagai kesanggupanku untuk mendampingi berubah lara. Memang tak sedang membayangkan. Hal itu benar terjadi setelah pemikiran yang membutuhkan waktu panjang untuk menjawab ‘iya’. Dan ternyata, aku tak benar-benar seorang perempuan hebat. Cinta yang teramat kuat. Menjadi lemah, hanya dengan sikap ‘seharusnya’ dan berbagai teori yang sepihak. Aku tak ingin lagi mencarinya. Tak ingin jatuh untuk mencintainya. Lagi. Aku takut, sangat takut. Namun lingkungan membuatku tak bisa menjauhinya. Masih saja aku melihat mata yang dulunya aku tatap sebagai kekasihku. Kekasih dengan banyak kata yang terayun manis. Serupa tawa anak kecil yang lepas ketika lupa dengan kekhawatiran ibunya. Seperti itulah aku, yang sekarang berbeda tempat tinggal dengan ibuku. Pula, sering sendiri di rumah mungil ini.

Kenangan. Ranumnya buah dari plastik. Mengeras dan tak bisa membusuk. Di balik kenangan terdahulu, menciptakan personalia yang baru. Mencinta dengan menjaga keistimewaan, namun tak sanggup di perlakukan biasa. Lalu menjaga dengan ketangguhan, atas personal yang hanya satu. Saja. Baiknya mencinta karena dasar yang tidak jelas kemunculannya. Lalu memulai tanpa mempedulikan mata yang sebelumnya sedang melihat mata yang lain.

Senja, seklipun kau datang, aku tak ingin menemuimu. Aku sudah bahagia. Bukan dengan kekasih yang kemarin aku ceritakan. Bukan lagi dengan keadaan perkuliahan yang tak membuatku nyaman. Hari demi hari, semuanya membaik. Tapi tak setenang aku membagi kisah denganmu. Kegelisahan masih menyertaiku. Ambang cahaya masih tampak dari balik piala. Masih belum terlihat ukiran nama di piala itu. Tapi aku yakin, suatu saat nanti akan berbalik. Dan piala itu yang akan melihat silluet-ku hingga aku dapat melihat sebuah nama yang kau ukir dengan tinta malam.

Lalu aku akan membagi kisahku lagi. Tentang seorang pria yang menjaga mawarnya untuk terus tumbuh. Entah sampai kapan. Dan seorang Ibu, dengan kehebatannya menjadikan putrinya seperti ini. entah ‘seperti’ yang bagaimana.

Semoga kita dapat bertemu kembali dilain waktu senja. Sampai lukaku benar-benar sembuh, sampai bunga mawar itu benar-benar lebat, sampai ukiran nama di piala itu terlihat, dan sampai Ibu melihat kehebatan putrinya. Aku merindukanmu. Merindukan ketegaranmu meninggalkan siang menuju malam.


-N.D Vindriana-

Selasa, 22 Juli 2014

Amunisi



Lagi-lagi langit sedang bertempur. Kabut hitam muncul dimana-mana. Dari ketinggian ini aku melepas semua kekhawatiran. Menemani gumpalan-gumpalan hitam. Aku berperang. Membuang kecemasan, menitipkan rindu, dan mengabadikan keyakinan.

Cerita yang kudengarkan akan juga terjadi pada diriku sendiri. Sudah aku siapkan ketangguhan untuk itu semua. Walaupun suapan cerita langsung maupun cerita yang masih melalui perantara tidak pernah aku rencanakan masuk kedalam telingaku.

Aku melihat bukit baru, pada pria yang berhasil menarikku bangun dari tempat dudukku. Namun cerita-cerita itu memangkas pohon-pohon baru, atas nama yang aku namai sendiri. Cerita yang justru sekarang menggumpalkan kabut dengan kegelisahan didalamnya.

Tak lama lagi, kebosanan juga akan dia temui. Tak lama lagi, berkelana akan dia lakukan. Dan Tak lama lagi, semua cerita-cerita itu juga akan menimpaku, dan bukit itu akan gersang. Semua karena kebiasaan. Kebiasaan terdahulu.

Tak perlu dikhawatrikan lagi aku rasa cukup tangguh pilar yang aku bangun untuk menahan rasa sakit. Dan tak perlu dicemaskan akan datang cepat. Aku yakin dia masih mengingat janjinya sendiri pada orang-orang yang tak suka dengan hubungan ini.

Namun tawa, tak pernah lepas semenjak pilar-pilar itu kubangun dengan amat hati-hati. Ketika waktu sudah tiba nanti, barulah aku akan tidur lama di dalam bangunan yang kubangun pilar-pilar. Cukup lama untuk merehatkan punggung yang melulu terbalut dan melulu terbang. Bukan lelah apalagi menyerah. Hanya saja tak ingin.

Ya.. ini hanya suatu saat nanti. Untuk bekal supaya tak lemah. Entah kapan, aku tak ingin ini benar-benar harus terjadi.


Selasa, 24 Juni 2014

Tuhan Pencipta Permainan



Tuhan…. Kau sedang membuat permainan dari dadu dadu yang mereka lempar? Lalu Kau jadikan aku sebagai taruhannya? Atau Kau yang penasaran dengan permainan. Membolak-balik kartu dan mengadu keberuntungan. Mungkin kalian bosan lalu membuat permainan baru. Bukan dari dadu atau kartu lagi, tetapi dari sebotol minuman. “Jika kau minum berlebihan, kau akan mabuk. Tapi jika kau tidak mabuk, kau akan merasa ketidakenakan dalam tubuhmu”. Berhenti menyadarkan diri, namun dikesadarannya tak mendapatkan yang lebih baik. Hidup macam apa yang Kau berikan pada mereka? Dan kutukan apa yang Kau pasrahkan padaku? Dasar Tuhan pencipta permainan.

Sebuah surat aku terima, yang katanya itu adalah surat terakhir. Surat yang bukan dari surat balasan kebiasaan surat menyurat dulu. Aku masih ingat, dia yang mengajarkan aku menulis surat dan mengajakku menuangkan pikiran melalui surat, tidak membalas dua surat terakhirku. Sebuah pernyataan menjawab kesakitan yang telah aku bunuh. Menggilas leher, berhenti bernafas dan menguburnya. Karena keputusan sudah bulat untuk berhenti lalu kemudian membunuh diriku sendiri. Permainan tolol, menjadikan perempuan sebagai obyeknya! Tak perlu aku teruskan, sudah kucoba menjadi jahat, namun tetap saja tidak bisa. Maka, merasa biasa saja dan tidak mempedulikan adalah jalannya.

Dia sedang menjadi Tuhan dari permainan-permainan yang diciptakan sendiri. Itu kesimpulan dari semua pernyataan yang aku tangkap dalam surat terakhirnya. Namun entah, permintaan maaf tak lagi ingin aku jawab. Kesakitan, kekecewaan, penyesalan, terasingkan semakin membuatku semakin tegar dan tangguh dalam menjalani hidup yang baru. Tapi juga tak mau aku ucapkan terimakasih pada Tuhan pencipta permainan itu. Karena tak pernah ada pertanyaan yang aku harus menjawabnya dengan “iya, aku mau menjadi taruhannya” tak ada kesepakatan sebelumnya!

Akhirnya, Dia justru memunculkan Tuhan-tuhan yang lainnya. Dengan permainan yang bermacam-macam jahat dan baiknya.

Dan pada Tuhan yang ini, aku bersedia menjadi taruhannya. Tidak, Tuhan yang ini tak menyebutku sebagai taruhan tapi sebagai keberuntungan. Entah apa Taruhannya. Aku tak menganggap ini sebuah ikatan hubungan yang formal. Kami bersama, bergandengan tangan melewati permainan-permainan yang lainnya. Aku tak sedang bermain, dia juga tak sedang main-main. Banyak sekali ketidaksukaan, dan banyak sekali yang sakit karena kami bersama. Obrolan disetiap perjalanan di bawah lampu kota tak pernah memberikan jawaban mengapa kami merasa salah. Kepedulian mereka karena latar belakang dan sentilan beberapa orang yang merasa sakit karena kami, membuat dia berkata “Banyak yang sakit hati, tapi aku bakalan buat mereka bahagia dengan tidak menyakiti Vindri” itu saja yang aku tanamkan dari banyak keraguan. Dan semalam, pantai dan beberapa pemanis seperti bulan sabit yang sedang tersenyum, lampu-lampu dari daratan seberang, lampu-lampu yang berjalan dengan kapal diatas laut, mega fajar dan siluet dirinya yang sedang bercanda dengan ombak. Hal itu membuatku semakin yakin, bahwa permainan yang kemarin telah menyingkirkan aku keluar dari peranku lalu sebuah permainan selanjutnya memberiku peran penting dengan tidak bermain sendirian. Beriringan melunakkan para pemain yang lain. Membongkar sekat pikiran kerdil mereka bahwa permainan tidak selalu harus ada yang menang dan kalah.


Rabu, 05 Februari 2014

Pura-pura, dimana?



Aku kehilangan topengku hari ini. beberapa hari berlalu sangat mudah aku jalani. Acuh dan bertingkah seperti biasa-biasa saja. Namun tidak bisa aku paksakan lagi. Aku belum bisa pergi karena perasaan yang aku sembunyikan. Aku hanya bersembunyi. Menutup kepiluan dengan topeng yang tebal. Aku belum pergi, ini masih akan pergi. Aku tahu, berlama-lama juga tidak baik.
Tidak ada airmata, tapi disini tetap terasa menikam. Luka yang belum terbalut secara rapi. Aku tidak ingin melihat cermin, karena melihat aku sendiri pasti tidak akan terasa nyaman. Sedangkan kau masih menampakkan tingkah yang memunculkan kegelisahan. Gelisah. Ya, aku tidak boleh gelisah. Karena aku dan kamu sudah tidak dalam sebuah ikatan.
Tidakkah aku lupa bagaimana seharusnya melakukan interaksi yang manis, manja dan nyaman. Itu tidak boleh lagi dilakukan bukan? Dan kerinduan pasti akan menjadi kesedihan atau bahkan malapetaka. Ini buruk sekali, tapi aku harus bisa mengatasi  ini. Tidak lagi perempuan menjadi bodoh. Dan tidak juga perempuan membunuh bangsanya sendiri. Begitu juga perempuan tak boleh terlihat lemah atau sebaliknya.
"mengorbankan pasangan hanya untuk menguatkan diri. dan bukannya kau sudah mengambil keputusan setelah mempertimbangkan? maka buang jauh-jauh pikiranmu untuk ingin berdiskusi lagi. Dunia tak kemana, dan dunia tidak selebar yang dulunya kalian bayangkan"Ah....

Kamis, 09 Januari 2014

Langit Kopi Susu

Orang-orang hebat sedang berkumpul membahas tentang film yang akan dieksekusi beberapa minggu lagi. Semangat mereka yang membuatku menahan gelisah karena cahaya dari luar sudah memanggilku dengan warna kuningnya yang mempesona. Sama seperti kemarin, cahaya itu masuk kedalam ruangan dan membuat suasana menjadi romantis. Rapat telah usai. Aku buru-buru keluar dan merencanakan tujuan.

Tak apalah beberapa bulan ini jarang sekali ada cerita aku yang menikmati senja bersama kekasih. Sekarangpun tidak. Tidak bisa. Tapi, penambahan cerita tetap ada, aku dan Senja. Dialah yang aku tahu paling setia bersama sore. Pun aku bukan yang setia menemuinya ketika dia datang. 

Aku mulai dari jalan yang menanjak, agar aku bisa lihat dia dari bawah lalu dari atas. Jembatan yang dibilang kembar di kota Jember adalah salah satu tempat favorit meneju senja. Selain yang lain, tempat inilah yang paling dekat dengan tempat rutinitasku. Cepat sekali pergantian warnanya. Langit tak semua berwarna jingga lagi. Ada perpaduan warna gelap. Tepat di tanjakan, diatasku langit sedang berkenalan seperti kopi dan susu yang akan dicampur. Perbedaan warna yang menggiurkan untuk diminum. 

Sampai di daratan yang rata dibagian atas, mobil volkwagen macam bus lewat dengan plat nomor yang manis. Lagi-lagi mengingatkan tentang rasa minuman tadi. Dijembatan yang kedua, semua kendaraan dan lampu-lampunya lambat sekali jalannya. Perlahan, langit menitikkan air yang sangat lembut turunnya. Gerimis. Inikah pertemuan senja dan hujan? langit yang tadinya sangat mempesona bertemu dengan gumpalan awan yang mendung. Lalu lampu-lampu kendaraan mengiyakan dengan lambatnya sampai akhirnya hujan itu turun secara perlahan.

Perpaduan kopi dan susu. Pahit dan manis. Hidup yang ditakdirkan dan mati yang ditentukan.

Jumat, 15 November 2013

Pesan Kosong




Pesan ini, Untuk kau yang mencari ketenangan.
Balasan pesan yang kuketik lalu kuhapus.
Dan kubiarkan kosong.