Di sudut
rumah kecil ini aku menuangkan moment terahir kami bertemu. Keangkuhanku, keras
kepalaku, kemunafikanku dan semua kebajinganku. Aku sangat mengingat persis
ketika dia mengunjungi kota Jember untuk bertemu denganku. Mungkin dia sedang
kalap, sampai nekat bersepeda dari Malang hanya karena kami sedang bertengkar,
bertengkar hebat. Kami begitu dekat, hanya terpisahkan bebrapa petak keramik. Dia
tidur dengan kerutan di dahinya, melengkingkan alisnya yang tebal. Dia tampak
tampan dan sangat lembut. Aku luluh, tapi aku mengambil tindakan untuk berlaku
bajingan. Bajingan yang menginjak – injak perasaanku dengan munafiknya bersikap
dingin.
Aku sempat
lemah, menangis dan menjerit dirumah ini. Memanggil namanya dan mengumpat pada
telfon genggamku. Ditikam selama lebih dari sebulan dengan gunjingan dan teori
sampah. Menjatuhkan harga diri sampai mengacaukan aktivitasku. Sampai tidak aku
temukan dimana diriku yang sebenarnya, karena terlalu dibayangi dengan teori
yang membawaku menjadi sosok lain. Seakan menjadi keadaan yang membuatku miris
jika dibayangkan. Juga banyak teman yang aku jauhi hanya untuk meladeni
perasaannya. Entah mengapa setelah malam itu aku begitu angkuh, sisi
kelembutanku membeku. Kesadaranku dibangkitkan. Menyingkirkan perasaan yang aku
punya kepadanya, rasa sayang dan cinta yang tidak biasa. Kelemahan itu mungkin
menguatkanku, mengeraskan hatiku dan enggan untuk menjadi lemah lagi. Timbul rasa
iba, hanya iba saja aku melemah didepannya. Kecaman yang aku rasakan ketika dia
memintaku untuk tidak pergi. Pandangan itu tulus aku lihat, binar matanya
begitu bersalah. Aku akui aku terlalu jahat dengan ucapan “aku tidak sayang
lagi”. Aku munafik, buktinya aku masih tergelitik dengan kekosongan diperutnya.
Aku masih getir mendengar ceritanya tentang perempuan lain, tapi aku redam. Aku
hanya merasa harus kuat.
Hubungan
kami belum berakhir, tapi aku masih tetap munafik dan bajingan. Memperlakukan kelembutannya
dengan sikap ketus. Terkadang aku merasa hina dengan dosa yang kupikul bersama.
Hari – hari menjadi datar, aku tetap kuat dan menganggap ini biasa karena malu
dengan senja. Senja yang selalu membuatku berfikir kuat tentang masa depan, masa
depan yang tidak dihalangi cinta.
Kami
membuat kesepakatan dihari idul adha. Mengatur pertemuan untuk mengucap
perpisahan, dengan mengesampingkan perasaan kami menunggu hari itu.
Malam idul Adhan, kami bertemu di rumah kecil ini. Sanda gurau, sentilan tentang hubungan terasa ringan kita bincangkan. Tiba – tiba pesan singkat di handphoneku membekukan suasana. Tertulis sebuah nama dengan pesan “makan ya item”. Ya, itu panggilan untukku dari seorang yang masih menyayangi perempuan berinisial “S”. Aku merasa takut dia akan cemburu. Benar, dia masih belum berubah. Beberapa sikap yang menaikkan pitammku. Menjadikanku semakin berhati – hati untuk mempertahankan hubungan.
Malam idul Adhan, kami bertemu di rumah kecil ini. Sanda gurau, sentilan tentang hubungan terasa ringan kita bincangkan. Tiba – tiba pesan singkat di handphoneku membekukan suasana. Tertulis sebuah nama dengan pesan “makan ya item”. Ya, itu panggilan untukku dari seorang yang masih menyayangi perempuan berinisial “S”. Aku merasa takut dia akan cemburu. Benar, dia masih belum berubah. Beberapa sikap yang menaikkan pitammku. Menjadikanku semakin berhati – hati untuk mempertahankan hubungan.
Hari-H idul Adha dia menghapiri keluargaku, layak seperti tidak ada apa – apa. Memang keluargaku
tidak tahu bahwa kami sudah tidak berhubungan. Lagi – lagi kami hanyut
dengan kenyamanan, lupa bahwa kami sudah tidak ada apa – apa. Jenuh dirumah,
kami keluar melewati sesawahan, menikmati aroma pedesaan, dan melakukan hal langka yang
pertama dan terahir kami lakukan yaitu melewati tempat yang belum pernah
sebelumnya kami kunjungi. Setahuku dia orang yang tidak sederhana, memperhitungkan
sepedanya karena aspal yang tidak rata, mempermaslahkan kumpulan – kumpulan orang
di depannya sebagai suatu kemalasan. Itu sebabnya aku sebut perjalanan ini
langka. Aku mencoba membuka percakapan. Melewati sungai dan bendungan kecil, tentram sekali desa ini. Aku tahu persis dia bukan penikmat alam. Dulu aku sempat memuji bentuk bulan yang indah, dia berkata "Aku tidak tahu dimana sisi bagusnya bulan". Sore itu? aku memperhatikan dia sangat menikmati alam. Kakak... aku ingin mengulangnya lagi karena kamu sudah menjadi penikmat alam (angan - angan).
Lama kelamaan percakapan itu menyinggung tentang hubungan kami. Di akhir percakapan aku hanya mengingat janji yang aku lontarkan setelah bergelut dengan negosiasi “Kalo begitu, lepaskan aku tapi aku berjanji hanya akan menjalin hubungan dengan kamu dengan waktu yang tidak tentu kapan aku kembali.” Dia mengiyakan dengan banyak pertimbangan. Sembari menikmati senja kami memutar balik perjalanan untuk pulang, dengan mesra kami menorehkan perasaan, mengesampingkan pikiran. Sepanjang perjalanan pulang tangan kami saling berpegangan,itu termasuk hitungan yang paling terakhir kami lakukan.
Lama kelamaan percakapan itu menyinggung tentang hubungan kami. Di akhir percakapan aku hanya mengingat janji yang aku lontarkan setelah bergelut dengan negosiasi “Kalo begitu, lepaskan aku tapi aku berjanji hanya akan menjalin hubungan dengan kamu dengan waktu yang tidak tentu kapan aku kembali.” Dia mengiyakan dengan banyak pertimbangan. Sembari menikmati senja kami memutar balik perjalanan untuk pulang, dengan mesra kami menorehkan perasaan, mengesampingkan pikiran. Sepanjang perjalanan pulang tangan kami saling berpegangan,itu termasuk hitungan yang paling terakhir kami lakukan.
Aku meneguk
janji yang ringan saja dilontarkan. Sepertinya aku mengucapkan kalimat yang
salah. Malamnya ketika aku menonton diskusi dokumenter film. Dia tahu, dan dia
bereaksi tetap dengan keegoisannya. Benar, dia masih tidak berubah dengan
keegoisannya dan menekankan diri ini. Sudah jelas, aku tidak bisa melanjutkan
hubungan ini jika kebebasan belum aku dapatkan. Kebebasan yang berbuah dari
kepercayaan. Dengan bajingan aku mencabut janji itu. Aku mencoba menyatakan hal
yang bohong supaya dia membenciku lalu meninggalkanku. Hal ini berhasil. Kami lost
kontak. Itu adalah hari terahir kami bertemu.
Beberapa minggu kemudian, dia mengirim pesan singkat yang mendorong kelemahanku lagi. “sempatkan untuk menyembahNya” dia mengingatkanku untuk solat, aku berfikir lama akan bertindak seperti apa membalas pesan itu. “iya setelah genap 7hari aku mulai sholat lagi” jawabku. Dia membalas “aku boleh bilang sesuatu?” . “apa?” lalu dia membalas sangat singkat “Aku Sayang Kamu”. Damn, ini pesan terakhirnya, pesan yang cukup membuatku semakin merasa bersalah memperlakukan manusia semanja dia. Maaf.
Beberapa minggu kemudian, dia mengirim pesan singkat yang mendorong kelemahanku lagi. “sempatkan untuk menyembahNya” dia mengingatkanku untuk solat, aku berfikir lama akan bertindak seperti apa membalas pesan itu. “iya setelah genap 7hari aku mulai sholat lagi” jawabku. Dia membalas “aku boleh bilang sesuatu?” . “apa?” lalu dia membalas sangat singkat “Aku Sayang Kamu”. Damn, ini pesan terakhirnya, pesan yang cukup membuatku semakin merasa bersalah memperlakukan manusia semanja dia. Maaf.
Moment
terahir kita(dia), pertemuan terahir kita, dan pesan terahir kita. Entah apa tuhan
akan mempertemukan kita lagi secara tidak sengaja atau tuhan mempertemukan kita
lagi dengan pasangan kita masing – masing. Aku tidak terlalu mempedulikannya,
cukup aku memperlakukan kenangan kita dengan bentuk penghargaan yang indah.
Semoga kita bahagia secara masing - masing.