Selasa, 12 Agustus 2014

Surat untuk 'Kau'

“Sepotong bunga mawar, guratan senja dan pasangan sepertimu. Senang bertemu dengan kalian. Dan tak salah karena kalian aku tersenyum.”

Mungkin sore belum mengizinkanku untuk melihatmu. Atau langit memang kau buat demikian supaya aku menyesali perbuatanku. Kau pasti tahu, hari ini aku membutuhkanmu. Begitu juga sebulan yang lalu, beberapa minggu yang lalu, dan kemarin ketika seseorang mengajakku untuk melihatmu. Hari ini tak sebaik aku menegarkan diri untuk berdiri. Angin terlalu kencang, dan pandangan hanya jelas seratus meter di depan mata. Tumpuanku rapuh, mungkin akan patah sebelum kau muncul di jarak seratus meter di depan mataku.

Pada intinya aku rindu, pada banyak hal yang sulit aku logikakan. Bercerita tentang lingkungan yang kerap membuatku duduk lemas. Lalu kau memberiku canda. Menarik pipiku sampai senyum di bibirku benar-benar nyata. Bercerita tentang kekasih, yang tak pernah kusadari dasar sebuah perasaan. Aku berdiri, tapi lagi-lagi aku duduk lemas. Lalu kau mengusap air mataku. Menyuruhku membendung alirannya.

Dibulan kemarin, aku tak lagi mendengarkanmu. Menampik sekaan tanganmu dipipiku. Aku mengabaikanmu. Aku tak sedang tenang ketika itu. Sarafku terkontaminasi oleh obat tidur dan obat anti mabuk. Membunuh waktu dengan tidur. Bercanda dengan asap. Sama sekali aku tak keluar di sore hari. Aku mengabaikanmu. Sesekali kau memicu supaya aku keluar dan menemuimu, kau muncul dibalik gorden jendela, masuk melalui celah-celah pintu dan menggedor-gedor kaca rumahku. Aku tak peduli, perhatianmu terasingkan oleh perlakuan yang menyakitkan dari seorang kekasih. Emosi tak juga redam oleh jawaban. Yang ada hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang terus memburu. Dan sebuah pertemuan yang tak juga datang.

Hati seperti diiris sembilu. Tak kubayangkan, ketegaran yang kubuat hebat dengan berbagai kesanggupanku untuk mendampingi berubah lara. Memang tak sedang membayangkan. Hal itu benar terjadi setelah pemikiran yang membutuhkan waktu panjang untuk menjawab ‘iya’. Dan ternyata, aku tak benar-benar seorang perempuan hebat. Cinta yang teramat kuat. Menjadi lemah, hanya dengan sikap ‘seharusnya’ dan berbagai teori yang sepihak. Aku tak ingin lagi mencarinya. Tak ingin jatuh untuk mencintainya. Lagi. Aku takut, sangat takut. Namun lingkungan membuatku tak bisa menjauhinya. Masih saja aku melihat mata yang dulunya aku tatap sebagai kekasihku. Kekasih dengan banyak kata yang terayun manis. Serupa tawa anak kecil yang lepas ketika lupa dengan kekhawatiran ibunya. Seperti itulah aku, yang sekarang berbeda tempat tinggal dengan ibuku. Pula, sering sendiri di rumah mungil ini.

Kenangan. Ranumnya buah dari plastik. Mengeras dan tak bisa membusuk. Di balik kenangan terdahulu, menciptakan personalia yang baru. Mencinta dengan menjaga keistimewaan, namun tak sanggup di perlakukan biasa. Lalu menjaga dengan ketangguhan, atas personal yang hanya satu. Saja. Baiknya mencinta karena dasar yang tidak jelas kemunculannya. Lalu memulai tanpa mempedulikan mata yang sebelumnya sedang melihat mata yang lain.

Senja, seklipun kau datang, aku tak ingin menemuimu. Aku sudah bahagia. Bukan dengan kekasih yang kemarin aku ceritakan. Bukan lagi dengan keadaan perkuliahan yang tak membuatku nyaman. Hari demi hari, semuanya membaik. Tapi tak setenang aku membagi kisah denganmu. Kegelisahan masih menyertaiku. Ambang cahaya masih tampak dari balik piala. Masih belum terlihat ukiran nama di piala itu. Tapi aku yakin, suatu saat nanti akan berbalik. Dan piala itu yang akan melihat silluet-ku hingga aku dapat melihat sebuah nama yang kau ukir dengan tinta malam.

Lalu aku akan membagi kisahku lagi. Tentang seorang pria yang menjaga mawarnya untuk terus tumbuh. Entah sampai kapan. Dan seorang Ibu, dengan kehebatannya menjadikan putrinya seperti ini. entah ‘seperti’ yang bagaimana.

Semoga kita dapat bertemu kembali dilain waktu senja. Sampai lukaku benar-benar sembuh, sampai bunga mawar itu benar-benar lebat, sampai ukiran nama di piala itu terlihat, dan sampai Ibu melihat kehebatan putrinya. Aku merindukanmu. Merindukan ketegaranmu meninggalkan siang menuju malam.


-N.D Vindriana-