Selasa, 24 Juni 2014

Tuhan Pencipta Permainan



Tuhan…. Kau sedang membuat permainan dari dadu dadu yang mereka lempar? Lalu Kau jadikan aku sebagai taruhannya? Atau Kau yang penasaran dengan permainan. Membolak-balik kartu dan mengadu keberuntungan. Mungkin kalian bosan lalu membuat permainan baru. Bukan dari dadu atau kartu lagi, tetapi dari sebotol minuman. “Jika kau minum berlebihan, kau akan mabuk. Tapi jika kau tidak mabuk, kau akan merasa ketidakenakan dalam tubuhmu”. Berhenti menyadarkan diri, namun dikesadarannya tak mendapatkan yang lebih baik. Hidup macam apa yang Kau berikan pada mereka? Dan kutukan apa yang Kau pasrahkan padaku? Dasar Tuhan pencipta permainan.

Sebuah surat aku terima, yang katanya itu adalah surat terakhir. Surat yang bukan dari surat balasan kebiasaan surat menyurat dulu. Aku masih ingat, dia yang mengajarkan aku menulis surat dan mengajakku menuangkan pikiran melalui surat, tidak membalas dua surat terakhirku. Sebuah pernyataan menjawab kesakitan yang telah aku bunuh. Menggilas leher, berhenti bernafas dan menguburnya. Karena keputusan sudah bulat untuk berhenti lalu kemudian membunuh diriku sendiri. Permainan tolol, menjadikan perempuan sebagai obyeknya! Tak perlu aku teruskan, sudah kucoba menjadi jahat, namun tetap saja tidak bisa. Maka, merasa biasa saja dan tidak mempedulikan adalah jalannya.

Dia sedang menjadi Tuhan dari permainan-permainan yang diciptakan sendiri. Itu kesimpulan dari semua pernyataan yang aku tangkap dalam surat terakhirnya. Namun entah, permintaan maaf tak lagi ingin aku jawab. Kesakitan, kekecewaan, penyesalan, terasingkan semakin membuatku semakin tegar dan tangguh dalam menjalani hidup yang baru. Tapi juga tak mau aku ucapkan terimakasih pada Tuhan pencipta permainan itu. Karena tak pernah ada pertanyaan yang aku harus menjawabnya dengan “iya, aku mau menjadi taruhannya” tak ada kesepakatan sebelumnya!

Akhirnya, Dia justru memunculkan Tuhan-tuhan yang lainnya. Dengan permainan yang bermacam-macam jahat dan baiknya.

Dan pada Tuhan yang ini, aku bersedia menjadi taruhannya. Tidak, Tuhan yang ini tak menyebutku sebagai taruhan tapi sebagai keberuntungan. Entah apa Taruhannya. Aku tak menganggap ini sebuah ikatan hubungan yang formal. Kami bersama, bergandengan tangan melewati permainan-permainan yang lainnya. Aku tak sedang bermain, dia juga tak sedang main-main. Banyak sekali ketidaksukaan, dan banyak sekali yang sakit karena kami bersama. Obrolan disetiap perjalanan di bawah lampu kota tak pernah memberikan jawaban mengapa kami merasa salah. Kepedulian mereka karena latar belakang dan sentilan beberapa orang yang merasa sakit karena kami, membuat dia berkata “Banyak yang sakit hati, tapi aku bakalan buat mereka bahagia dengan tidak menyakiti Vindri” itu saja yang aku tanamkan dari banyak keraguan. Dan semalam, pantai dan beberapa pemanis seperti bulan sabit yang sedang tersenyum, lampu-lampu dari daratan seberang, lampu-lampu yang berjalan dengan kapal diatas laut, mega fajar dan siluet dirinya yang sedang bercanda dengan ombak. Hal itu membuatku semakin yakin, bahwa permainan yang kemarin telah menyingkirkan aku keluar dari peranku lalu sebuah permainan selanjutnya memberiku peran penting dengan tidak bermain sendirian. Beriringan melunakkan para pemain yang lain. Membongkar sekat pikiran kerdil mereka bahwa permainan tidak selalu harus ada yang menang dan kalah.