Tuhan…. Kau sedang membuat
permainan dari dadu dadu yang mereka lempar? Lalu Kau jadikan aku sebagai
taruhannya? Atau Kau yang penasaran dengan permainan. Membolak-balik kartu dan
mengadu keberuntungan. Mungkin kalian bosan lalu membuat permainan baru. Bukan
dari dadu atau kartu lagi, tetapi dari sebotol minuman. “Jika kau minum
berlebihan, kau akan mabuk. Tapi jika kau tidak mabuk, kau akan merasa
ketidakenakan dalam tubuhmu”. Berhenti menyadarkan diri, namun dikesadarannya
tak mendapatkan yang lebih baik. Hidup macam apa yang Kau berikan pada mereka?
Dan kutukan apa yang Kau pasrahkan padaku? Dasar Tuhan pencipta permainan.
Sebuah surat aku terima, yang
katanya itu adalah surat terakhir. Surat yang bukan dari surat balasan
kebiasaan surat menyurat dulu. Aku masih ingat, dia yang mengajarkan aku
menulis surat dan mengajakku menuangkan pikiran melalui surat, tidak membalas
dua surat terakhirku. Sebuah pernyataan menjawab kesakitan yang telah aku
bunuh. Menggilas leher, berhenti bernafas dan menguburnya. Karena keputusan
sudah bulat untuk berhenti lalu kemudian membunuh diriku sendiri. Permainan tolol, menjadikan perempuan sebagai obyeknya! Tak perlu aku teruskan, sudah kucoba menjadi jahat, namun tetap saja tidak bisa. Maka, merasa biasa saja dan tidak mempedulikan adalah jalannya.
Dia sedang menjadi Tuhan dari
permainan-permainan yang diciptakan sendiri. Itu kesimpulan dari semua
pernyataan yang aku tangkap dalam surat terakhirnya. Namun entah, permintaan
maaf tak lagi ingin aku jawab. Kesakitan, kekecewaan, penyesalan, terasingkan semakin membuatku semakin tegar dan
tangguh dalam menjalani hidup yang baru. Tapi juga tak mau aku ucapkan
terimakasih pada Tuhan pencipta permainan itu. Karena tak pernah ada pertanyaan
yang aku harus menjawabnya dengan “iya, aku mau menjadi taruhannya” tak ada
kesepakatan sebelumnya!
Akhirnya, Dia justru memunculkan
Tuhan-tuhan yang lainnya. Dengan permainan yang bermacam-macam jahat dan
baiknya.
Dan pada Tuhan yang ini, aku
bersedia menjadi taruhannya. Tidak, Tuhan yang ini tak menyebutku sebagai
taruhan tapi sebagai keberuntungan. Entah apa Taruhannya. Aku tak menganggap
ini sebuah ikatan hubungan yang formal. Kami bersama, bergandengan tangan melewati
permainan-permainan yang lainnya. Aku tak sedang bermain, dia juga tak sedang
main-main. Banyak sekali ketidaksukaan, dan banyak sekali yang sakit karena
kami bersama. Obrolan disetiap perjalanan di bawah lampu kota tak pernah
memberikan jawaban mengapa kami merasa salah. Kepedulian mereka karena latar belakang dan sentilan beberapa orang yang merasa
sakit karena kami, membuat dia berkata “Banyak yang sakit hati, tapi aku bakalan
buat mereka bahagia dengan tidak menyakiti Vindri” itu saja yang aku tanamkan
dari banyak keraguan. Dan semalam, pantai dan beberapa pemanis seperti bulan
sabit yang sedang tersenyum, lampu-lampu dari daratan seberang, lampu-lampu
yang berjalan dengan kapal diatas laut, mega fajar dan siluet dirinya yang
sedang bercanda dengan ombak. Hal itu membuatku semakin yakin, bahwa permainan yang kemarin
telah menyingkirkan aku keluar dari peranku lalu sebuah permainan selanjutnya
memberiku peran penting dengan tidak bermain sendirian. Beriringan melunakkan para pemain yang lain. Membongkar sekat pikiran kerdil
mereka bahwa permainan tidak selalu harus ada yang menang dan kalah.
akhirnya :)
BalasHapus