Jumat, 23 November 2012

Moment Terahir Bertemu

Di sudut rumah kecil ini aku menuangkan moment terahir kami bertemu. Keangkuhanku, keras kepalaku, kemunafikanku dan semua kebajinganku. Aku sangat mengingat persis ketika dia mengunjungi kota Jember untuk bertemu denganku. Mungkin dia sedang kalap, sampai nekat bersepeda dari Malang hanya karena kami sedang bertengkar, bertengkar hebat. Kami begitu dekat, hanya terpisahkan bebrapa petak keramik. Dia tidur dengan kerutan di dahinya, melengkingkan alisnya yang tebal. Dia tampak tampan dan sangat lembut. Aku luluh, tapi aku mengambil tindakan untuk berlaku bajingan. Bajingan yang menginjak – injak perasaanku dengan munafiknya bersikap dingin.
Aku sempat lemah, menangis dan menjerit dirumah ini. Memanggil namanya dan mengumpat pada telfon genggamku. Ditikam selama lebih dari sebulan dengan gunjingan dan teori sampah. Menjatuhkan harga diri sampai mengacaukan aktivitasku. Sampai tidak aku temukan dimana diriku yang sebenarnya, karena terlalu dibayangi dengan teori yang membawaku menjadi sosok lain. Seakan menjadi keadaan yang membuatku miris jika dibayangkan. Juga banyak teman yang aku jauhi hanya untuk meladeni perasaannya. Entah mengapa setelah malam itu aku begitu angkuh, sisi kelembutanku membeku. Kesadaranku dibangkitkan. Menyingkirkan perasaan yang aku punya kepadanya, rasa sayang dan cinta yang tidak biasa. Kelemahan itu mungkin menguatkanku, mengeraskan hatiku dan enggan untuk menjadi lemah lagi. Timbul rasa iba, hanya iba saja aku melemah didepannya. Kecaman yang aku rasakan ketika dia memintaku untuk tidak pergi. Pandangan itu tulus aku lihat, binar matanya begitu bersalah. Aku akui aku terlalu jahat dengan ucapan “aku tidak sayang lagi”. Aku munafik, buktinya aku masih tergelitik dengan kekosongan diperutnya. Aku masih getir mendengar ceritanya tentang perempuan lain, tapi aku redam. Aku hanya merasa harus kuat.
Hubungan kami belum berakhir, tapi aku masih tetap munafik dan bajingan. Memperlakukan kelembutannya dengan sikap ketus. Terkadang aku merasa hina dengan dosa yang kupikul bersama. Hari – hari menjadi datar, aku tetap kuat dan menganggap ini biasa karena malu dengan senja. Senja yang selalu membuatku berfikir kuat tentang masa depan, masa depan yang tidak dihalangi cinta.  
Kami membuat kesepakatan dihari idul adha. Mengatur pertemuan untuk mengucap perpisahan, dengan mengesampingkan perasaan kami menunggu hari itu. 
Malam idul Adhan, kami bertemu di rumah kecil ini. Sanda gurau, sentilan tentang hubungan terasa ringan kita bincangkan. Tiba – tiba pesan singkat di handphoneku membekukan suasana. Tertulis sebuah nama dengan pesan “makan ya item”. Ya, itu panggilan untukku dari seorang yang masih menyayangi perempuan berinisial “S”. Aku merasa takut dia akan cemburu. Benar, dia masih belum berubah. Beberapa sikap yang menaikkan pitammku. Menjadikanku semakin berhati – hati untuk mempertahankan hubungan. 
Hari-H idul Adha dia menghapiri keluargaku, layak seperti tidak ada apa – apa. Memang keluargaku tidak tahu bahwa kami sudah tidak berhubungan. Lagi – lagi kami hanyut dengan kenyamanan, lupa bahwa kami sudah tidak ada apa – apa. Jenuh dirumah, kami keluar melewati sesawahan, menikmati aroma pedesaan, dan melakukan hal langka yang pertama dan terahir kami lakukan yaitu melewati tempat yang belum pernah sebelumnya kami kunjungi. Setahuku dia orang yang tidak sederhana, memperhitungkan sepedanya karena aspal yang tidak rata, mempermaslahkan kumpulan – kumpulan orang di depannya sebagai suatu kemalasan. Itu sebabnya aku sebut perjalanan ini langka. Aku mencoba membuka percakapan. Melewati sungai dan bendungan kecil, tentram sekali desa ini. Aku tahu persis dia bukan penikmat alam. Dulu aku sempat memuji bentuk bulan yang indah, dia berkata "Aku tidak tahu dimana sisi bagusnya bulan". Sore itu? aku memperhatikan dia sangat menikmati alam. Kakak... aku ingin mengulangnya lagi karena kamu sudah menjadi penikmat alam (angan - angan).
Lama kelamaan percakapan itu menyinggung tentang hubungan kami. Di akhir percakapan aku hanya mengingat janji yang aku lontarkan setelah bergelut dengan negosiasi “Kalo begitu, lepaskan aku tapi aku berjanji hanya akan menjalin hubungan dengan kamu dengan waktu yang tidak tentu kapan aku kembali.” Dia mengiyakan dengan banyak pertimbangan. Sembari menikmati senja kami memutar balik perjalanan untuk pulang, dengan mesra kami menorehkan perasaan, mengesampingkan pikiran. Sepanjang perjalanan pulang tangan kami saling berpegangan,itu termasuk hitungan yang paling terakhir kami lakukan.
Aku meneguk janji yang ringan saja dilontarkan. Sepertinya aku mengucapkan kalimat yang salah. Malamnya ketika aku menonton diskusi dokumenter film. Dia tahu, dan dia bereaksi tetap dengan keegoisannya. Benar, dia masih tidak berubah dengan keegoisannya dan menekankan diri ini. Sudah jelas, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini jika kebebasan belum aku dapatkan. Kebebasan yang berbuah dari kepercayaan. Dengan bajingan aku mencabut janji itu. Aku mencoba menyatakan hal yang bohong supaya dia membenciku lalu meninggalkanku. Hal ini berhasil. Kami lost kontak. Itu adalah hari terahir kami bertemu.
Beberapa minggu kemudian, dia mengirim pesan singkat yang mendorong kelemahanku lagi. “sempatkan untuk menyembahNya” dia mengingatkanku untuk solat, aku berfikir lama akan bertindak seperti apa membalas pesan itu. “iya setelah genap 7hari aku mulai sholat lagi” jawabku. Dia membalas “aku boleh bilang sesuatu?” . “apa?” lalu dia membalas sangat singkat “Aku Sayang Kamu”. Damn, ini pesan terakhirnya, pesan yang cukup membuatku semakin merasa bersalah memperlakukan manusia semanja dia. Maaf.
Moment terahir kita(dia), pertemuan terahir kita, dan pesan terahir kita. Entah apa tuhan akan mempertemukan kita lagi secara tidak sengaja atau tuhan mempertemukan kita lagi dengan pasangan kita masing – masing. Aku tidak terlalu mempedulikannya, cukup aku memperlakukan kenangan kita dengan bentuk penghargaan yang indah. Semoga kita bahagia secara masing - masing.