“Sepotong bunga mawar, guratan senja dan pasangan
sepertimu. Senang bertemu dengan kalian. Dan tak salah karena kalian aku
tersenyum.”
Mungkin sore belum mengizinkanku
untuk melihatmu. Atau langit memang kau buat demikian supaya aku menyesali
perbuatanku. Kau pasti tahu, hari ini aku membutuhkanmu. Begitu juga sebulan
yang lalu, beberapa minggu yang lalu, dan kemarin ketika seseorang mengajakku
untuk melihatmu. Hari ini tak sebaik aku menegarkan diri untuk berdiri. Angin
terlalu kencang, dan pandangan hanya jelas seratus meter di depan mata. Tumpuanku
rapuh, mungkin akan patah sebelum kau muncul di jarak seratus meter di depan
mataku.
Pada intinya aku rindu, pada
banyak hal yang sulit aku logikakan. Bercerita tentang lingkungan yang kerap
membuatku duduk lemas. Lalu kau memberiku canda. Menarik pipiku sampai senyum
di bibirku benar-benar nyata. Bercerita tentang kekasih, yang tak pernah
kusadari dasar sebuah perasaan. Aku berdiri, tapi lagi-lagi aku duduk lemas. Lalu
kau mengusap air mataku. Menyuruhku membendung alirannya.
Dibulan kemarin, aku tak lagi
mendengarkanmu. Menampik sekaan tanganmu dipipiku. Aku mengabaikanmu. Aku tak
sedang tenang ketika itu. Sarafku terkontaminasi oleh obat tidur dan obat anti
mabuk. Membunuh waktu dengan tidur. Bercanda dengan asap. Sama sekali aku tak
keluar di sore hari. Aku mengabaikanmu. Sesekali kau memicu supaya aku keluar
dan menemuimu, kau muncul dibalik gorden jendela, masuk melalui celah-celah
pintu dan menggedor-gedor kaca rumahku. Aku tak peduli, perhatianmu terasingkan
oleh perlakuan yang menyakitkan dari seorang kekasih. Emosi tak juga redam oleh
jawaban. Yang ada hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang terus memburu. Dan sebuah
pertemuan yang tak juga datang.
Hati seperti diiris sembilu. Tak kubayangkan,
ketegaran yang kubuat hebat dengan berbagai kesanggupanku untuk mendampingi berubah
lara. Memang tak sedang membayangkan. Hal itu benar terjadi setelah pemikiran
yang membutuhkan waktu panjang untuk menjawab ‘iya’. Dan ternyata, aku tak
benar-benar seorang perempuan hebat. Cinta yang teramat kuat. Menjadi lemah,
hanya dengan sikap ‘seharusnya’ dan berbagai teori yang sepihak. Aku tak ingin
lagi mencarinya. Tak ingin jatuh untuk mencintainya. Lagi. Aku takut, sangat
takut. Namun lingkungan membuatku tak bisa menjauhinya. Masih saja aku melihat
mata yang dulunya aku tatap sebagai kekasihku. Kekasih dengan banyak kata yang
terayun manis. Serupa tawa anak kecil yang lepas ketika lupa dengan kekhawatiran
ibunya. Seperti itulah aku, yang sekarang berbeda tempat tinggal dengan ibuku.
Pula, sering sendiri di rumah mungil ini.
Kenangan. Ranumnya buah dari
plastik. Mengeras dan tak bisa membusuk. Di balik kenangan terdahulu,
menciptakan personalia yang baru. Mencinta dengan menjaga keistimewaan, namun
tak sanggup di perlakukan biasa. Lalu menjaga dengan ketangguhan, atas personal
yang hanya satu. Saja. Baiknya mencinta karena dasar yang tidak jelas
kemunculannya. Lalu memulai tanpa mempedulikan mata yang sebelumnya sedang
melihat mata yang lain.
Senja, seklipun kau datang, aku
tak ingin menemuimu. Aku sudah bahagia. Bukan dengan kekasih yang kemarin aku
ceritakan. Bukan lagi dengan keadaan perkuliahan yang tak membuatku nyaman.
Hari demi hari, semuanya membaik. Tapi tak setenang aku membagi kisah denganmu.
Kegelisahan masih menyertaiku. Ambang cahaya masih tampak dari balik piala.
Masih belum terlihat ukiran nama di piala itu. Tapi aku yakin, suatu saat nanti
akan berbalik. Dan piala itu yang akan melihat silluet-ku hingga aku dapat
melihat sebuah nama yang kau ukir dengan tinta malam.
Lalu aku akan membagi kisahku
lagi. Tentang seorang pria yang menjaga mawarnya untuk terus tumbuh. Entah
sampai kapan. Dan seorang Ibu, dengan kehebatannya menjadikan putrinya seperti
ini. entah ‘seperti’ yang bagaimana.
Semoga kita dapat bertemu kembali
dilain waktu senja. Sampai lukaku benar-benar sembuh, sampai bunga mawar itu
benar-benar lebat, sampai ukiran nama di piala itu terlihat, dan sampai Ibu
melihat kehebatan putrinya. Aku merindukanmu. Merindukan ketegaranmu meninggalkan
siang menuju malam.
-N.D Vindriana-