“Rahwana
boleh pulang, silahkan.”
Begitu
ungkap seorang dokter, di saah satu Rumah Sakit negeri Alengka.
Telah
tiga hari, terhitung sejak terguling tergeletak menyerah pada rasa sakit. Kini
rahwana bisa melanjutkan perjalananya menuju kesempurnaan sebagai dasamuka. Sebagai seorang yang lahir di
negeri tempat bersembunyinya para dewa hingga para maling, rahwana selalu
enggan mengikuti kisah yang sudah ditulis beribu tahun lamanya. Rahwana selalu
mencoba keluar dari mainstream
(begitu kata para pejuang Indra yang bahasanya jauuh-jauh di datangkan dari
Negeri lain). Terperanjat si Rahwana ketika melihat dirinya yang kian hari
semakin tak jelas rupanya. Dia yakin itu adaah konsekuensi logis dari seorang yogin yang tidak lagi sibuk mengurusi
penampilan popular. Ah, Rahwana. Selalu saja tak bikin bangga, hidupnya memang
penuh dengan portal dan polisi tidur, tak ada yang berjalan ulus dan sesuai
dengan keinginan. Negeri alengka baginya jauh lebih berharga meskipun dewa
bersembunyi dan maling bersembunyi pula. Bagaimanapun dia cinta negerinya, yang
sekarang dia berharap dia akan menjadi pemimpinnya, pemegang Gadha symbol keperkasaan. Sebagai
seorang yang nantinya kalah dalam perang, Rahwana kini boleh bangga, sebab
titah dari kedua orang tuanya turun kepadanya. Sebut saja sifat yang
mengikutinya. Mawas diri dan sombong. Dua sifat yang saling menjegal satu sama
lain. Sayangnya tidak ada pilihan bagi rahwna selain baik dan buruk. Tak
mungkin dia berdiri di tengah. Tentu bukan rahwana namanya.
Rumah
sakit menjadi titik tolak dia melampaui guru-gurunya, inginnya. Sebab keluar
dari kisah tak mungkin. Rahwana-lah yang di Alengka, nantinya akan menjadi sang
raja diraja. Berjalan mulusnya, selalu berliku dan menukik tajam, itulah kisah
demi kisah dalam hidup sehari-hari rahwana. Soal cinta dia tak pernah gagal,
sampai pada ketika Shinta memancarkan aura cantiknya hingga ke alengka, di bawa
angin harumnya, produk wewangian khas milik salah satu perusahaan terkenal.
Tapi itu nanti, semoga Siwa bersedia mengganti judul ceritanya. Rahwana menukik
tajam berkelok-kelok jalan hidupnya, tapi siwa mengabulkan segala inginnya,
sebab dia Brahma yang sesungguhnya.
“kau
mau apa? Anakku?”
Balasan
Siwa, melalui pesan dalam botol.
Bagaimana
bisa, Siwa memakai produk ke-bumi-an? Apakah tidak ada cara yang lebih mistis,
saat ini di dunia sang pencipta. Dalam benak Rahwana. Coba dia membalas,
melalui kurir ekspedisi Alengka, di kemasnya dalam botol dengan alamat tujuan:
laut.
Cukup
cerdas rahwana, melalui ingatannya semasa dia duduk di bangku sekolah pertapaan
dasar di Alengka. Bahwa, air laut menguap dan menjadikannya hujan: proses alami
hujan dii jhambudvipa. Menguap
bersama botolnya sekaligus pesan yang ditulisnya. Berbunyi:
“aku
ingin cintaku tidak lagi kandas”
Berharap
tak ada balasan yang tidak menyenangkan, Rahwana tak mau menyalahkan waktu yang
membuatnya menunggu.
“Shinta
oh Shinta”
Kini,
Rahwana tau apa yang harus dia lakukan. Tapi dia mau keluar dari cerita yang
digariskan oleh semesta yang tak mendukungnya untuk urusan yang satu ini. tidak sedang menculiknya dari Rama, Shinta
benar-benar sudah membenci Rama. Tidak disebut kesempatan, keberuntungan yang
mempertemukan Rahwana pada Shinta, waktu. Jangan salahkan Rahwana, sebab Shinta
memiliki be-bau-an khas. Rahwana takluk dan biar Siwa menuliskan kisah barunya,
tentang Rahwana, Shinta dan si ‘muka topeng’ Rama.
***
“Baiknya
hentikan bunyi kaing yang setiap malam mengangu ritualku menutup hari”
Dengan
memandang Siwa, Shinta mengatur nafas, membenarkan posisi tubuh, mengangkat
dagu lalu membalikkan badan. Diulanginya lagi berlari sampai terengah-engah
menuju ruang yang tak pernah dia buka sebelumnya. Sebesar apapun permintaan
yang dia harapkan, tak pernah disampaikan kepada Siwa.
“Aku
lebih baik lahir kembali daripada masih harus merasakan gejolak dalam hidupku
sebelum mati”
Dia
masuk kedalam ruangan dan menutup kembali pintu yang belum pernah dia buka
sebelumnya.
Ritual
ini. Direndam kakinya kedalam mangkuk besar berisi perasan jeruk limau. Diletakkan
tangannya yang tak pernah menyapa matahari, menengadah dibawah pipa mengalir
air suci. Diusapkan merata, pada bibir yang tak pernah menjerit, pada mata yang
tak sempat saling memandang diri, dan pada kening yang membekas kecupan Rama.
Ditanggalkan
badannya diatas kasur.
Suara
itu, suara teriakan anjing. Dia membekap wajahnya dengan bantal. Hatinya
ketakutan. Shinta, tak ubahnya seorang perempuan malang. Bersembunyi dari balik
cahaya negeri Alengka. Setiap harinya meramu malam, menghabiskan segalanya
tanpa sisa air mata di pagi hari selanjutnya. Hitam, sesak, dan kelam.
“Kukira
sama lengkap seperti engkau kirimkan hujan yang menggedor-gedor kaca jendelaku.
Kukira kau tuli, hingga aku buka ruanganku dan berlari menuju singgahsanamu
hanya untuk menyampaikan harapanku. Segera sudahi hidupku, segala ritual sudah
kulakukan, namun tak membuat tidurku tenang. Kiranya kau tahu Siwa, aku ingin
mati bertebaran bunga mawar merah dikasurku. Supaya lebah, kumbang dan kupu-kupu
itu siap menerimaku terlahir kembali sebagai Shinta yang lain. Yang tak
mengenal suara kaing, tak tahu arah menuju singgahsanamu, dan tak mengingat bahwa
kau dengar sebelum bibirku membuka katupnya.”
ditulis oleh laki-laki yang masih baru mengenal cinta, Jember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar